Senin, 30 November 2020

Rangkuman Materi Al Qur'an Hadits Kelas 6 Semester 1

  Materi Al Qur'an Hadits Kelas 6 Semester 1

1. Surat Al Alaq

Surah Al ‘Alaq adalah surah yang ke 096, berisi 19 ayat (1-19), terdapat pada Juz 30 atau Juz Amma. Diturunkan di kota Mekkah dan termasuk kedalam golongan surah Makkiyah. Ayat 1 – 5 dari surah Al ‘Alaq ini adalah ayat yang pertama kali diturunkan. Di mana, waktu itu Nabi Muhammad sedang bertafakkur di gua Hira. Allah menciptakan manusia dari benda yang hina lalu memuliakannya dengan mengajar membaca, menulis dan memberinya pengetahuan.

 Berikut ini adalah bacaan surah Al ‘Alaq arab latin dan artinya.

Al ‘Alaq (Segumpal Darah)

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ ١

iqro’ bismirobbikalladzii kholaq

  1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

خَلَقَ الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقٍ

kholaqol insaana min ‘alaq

  1. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ٣

iqro’ warobbukal akrom

  1. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia

الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ٤

alladzii ‘allama bil qolam

  1. Yang mengajar (manusia) dengan pena.

عَلَّمَ الْإِنْسٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ٥

‘allamal insaana maa lam ya’lam

  1. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَيَطْغَىٰٓ ٦

kallaa innal insaana layath-ghoo

  1. Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas

أَنْ رَّءَاهُ اسْتَغْنَىٰٓ ٧

Arro aahus taghnaa

  1. apabila melihat dirinya serba cukup.

إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰٓ ٨

inna ilaa robbikar ruj’aa

  1. Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).

أَرَءَيْتَ الَّذِى يَنْهَىٰ ٩

Aro aital ladzii yanhaa

  1. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,

عَبْدًا إِذَا صَلَّىٰٓ ١۰

‘abdan idzaa shollaa

  1. seorang hamba ketika dia melaksanakan shalat, (1)

أَرَءَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَىٰٓ ١١

Aro aita ingkaana ‘alal hudaa

  1. Bagaimana pendapatmu jika dia (yang dilarang shalat itu) berada di atas kebenaran (petunnjuk).

أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَىٰٓ ١٢

au amaro bit taqwaa

  1. atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?

أَرَءَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰٓ ١٣

Aro aita ing kadzdzaba watawallaa

  1. Bagaimana pendapatmu jika dia (yang melarang) itu mendustakan dan berpaling?

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَىٰ ١٤

alam ya’lam bi annallooha yaroo

  1. Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?

كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًۢا بِالنَّاصِيَةِ ١٥

kallaa la il lam yantahii lanasfa’am bin naashiyah

  1. Sekali-kali tidak! Sungguh jika dia tidak berhenti niscaya Kami tarik ubun-ubunnya.

نَاصِيَةٍ كٰذِبَةٍ خَاطِئَةٍ ١٦

naashiyating kaadzibatin khooti’ah

  1. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan dan durhaka.

فَلْيَدْعُ نَادِيَهٗ ١٧

falyad’u naadiyah

  1. Maka biaarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya).

سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ ١٨

sanad’uz zabaaniyah

  1. Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah (penyiksa orang-orang yang berdosa),

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ١٩

kallaa laa tuthi’hu wasjud waqtarib

  1. Sekali-kali tidak! Janganlah kamu patuh kepadanya, dan sujudlah serta dekatkanlah.**


Memahami Isi Kandungan Surah al-‘Alaq

        Surah al-‘Alaq adalah surah yang ke 96, yaitu setelah surah at-Tiin dan sebelum
surah al Qadr yang di dalamnya terdapat wahyu yang pertama kali turun yaitu ayat
1-5. Ayat ini turun bertepatan dengan malam 17 Ramadhan. Oleh karena itu kita
peringati sebagai Nuzulul Qur’an.Semua ayatnya turun di Makkah maka disebut
surah Makkiyyah. Dinamakan al-‘Alaq karena diambil dari ayat kedua. Al-‘Alaq
artinya segumpal darah.
        Dalam ayat 1-5 kita diperintahkan untuk membaca, hal ini kita dituntut untuk
mempelajari ilmu pengetahuan baik ilmu umum maupun ilmu agama. Apalagi saat
ini perkembangan teknologi yang begitu pesat, maka kita sebagai seorang muslim
harus mampu menguasai teknologi. Kita jangan merasa puas terhadap ilmu
pengetahuan yang telah kita peroleh, karena ilmu pengetahuan itu sangat luas. Kita
dituntut untuk mencari dan menguasainya. Disamping itu, dengan menguasai ilmu
pengetahuan iman kita kepada Allah Swt. akan semakin tebal, sehingga kita akan
mengenal hakikat penciptaan manusia.
        Ayat selanjutnya berisi peringatan kepada Abu Jahal yang pernah melarang Nabi
Muhammad Saw. untuk melaksanakan shalat, bahkan Abu Jahal mengancam untuk
menginjak leher dan membenamkan wajah Nabi Nuhammad Saw. ke tanah apabila
dia mendapati Rasulullah Saw. shalat. Namun kenyataannya setelah Abu Jahal
melihat Nabi Muhammad Saw. sedang shalat, ia mundur tidak bisa mendekati
Rasulullah Saw. apalagi sampai menginjak leher dan membenamkan wajahnya.
Karena dia merasa ada parit dari api yang menakutkan dan bersayap-sayap.
Manusia seringkali melupakan kenikmatan dari Allah Swt. ketika manusia merasa
dirinya kaya dan berkecukupan, bahkan ia menjadi takabur dan menganggap orang
lain remeh, karena merasa orang lain tidak ada yang mampu menandinginya. Allah
Swt. pasti akan mengazab orang-orang yang merintangi orang lain untuk
berbuat baik dan beribadah di akherat kelak. Hal ini seperti Abu Jahal yang diancam
oleh Allah Swt. karena selalu merintangi Nabi Muhammad Saw. yang hendak
melaksanakan salat. Pada ayat terakhir berisi larangan untuk mengikuti perilaku
orang jahat dan berisi perintah untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah
Swt

2. Surat Al Qadr

  1. Nama surah al-Qadr diambil dari ayat yang ke-1 artinya kemuliaan.
  2. Ayat yang pertama kali turun adalah surah al-‘Alaq ayat 1-5.
  3. Malam turunnya al-Qur’an disebut Nuzulul Qur’an.
  4. Malam Lailatul Qadar adalah malam kemuliaan, lebih baik adaripada seribubulan

Memahami Isi Kandungan Surah al-Qadr 

Surah al-Qadr adalah surah yang ke 97, yaitu setelah surah al-Alaq dan sebelum surah al-Bayyinah. Sebab turunya (asbabun nuzul) ayat ini menurut Imam Ibnu Jarir dalam sebuah hadisnya menceritakan bahwa dikalangan orang-orang Bani Israil ada seorang laki-laki yang setiap malam selalu beribadah. Kemudian pada siang harinya ia selalu berjihad melawan musuh-musuh allah sampai sore hari. Hal ini ia lakukan sampai seribu bulan secara terus menerus. Hal ini membuat kaum muslimin merasa takjub. Kemudian Allah Swt. menurunkan surah al-Qadar yang menegaskan bahwa beramal saleh pada malam Lailatul Qadar itu pahalanya jauh lebih baik dan besar daripada amalan yang dilakukan selama seribu bulan oleh seorang laki-laki dari Bani Israil tersebut. Dengan demikian, umat Islam diberikan semangat oleh Allah Swt. Untuk rajin beramal saleh dan beribadah. Walaupun usia umat Nabi Muhammad Saw. sangat pendek dibandingkan dengan usia umat-umat terdahulu. Hal ini apabila kita mencontoh usia Nabi Muhammad Saw. hanya 63 tahun. Maka kita harus terus bersemangat untuk beribadah dan beramal saleh karena Allah Swt. telah memberikan kemuliaan malam Lailatul Qadar pada bulan suci Ramadhan. Pada ayat 1 menjelaskan bahwa Allah Swt. Telah menurunkan al-Qur’an dari lauh Mahfuz ke langit dunia pada malam qadr sebagai petunjuk kepada umat manusia agar terhindar dari kesesatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:

Artinya: Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. (QS. al-Baqarah 185). 

Selanjutnya, ayat 2-3 menjelaskan tentang ketakjuban terhadap Lailatul Qadar. Pada ayat ke-2 berisi pertanyaan Allah Swt. Terhadap nabi Muhammad Saw. : apa malam kemuliaan itu?. Namun nabi Muhammad tidak mampu untuk menjelaskannya. Maka Allah pulalah yang menjelaskannya pada ayat ke-3. Bahwasanya malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Dari ayat di atas, bahwasanya manusia diminta untuk beribadah dan beramal saleh pada malam lailatul qadr karena pahalanya begitu besarnya. Diibaratkan seperti beribadah seribu bulan. Dengan demikian apakah diperkenankan manusia yang telah beribadah dan beramal saleh di malam lailatul qadar untuk meningglakan ibadah di waktu lain. Tentu tidak boleh, karena manusia diwajibkan untuk tetap beribadah. Ayat ke-4 dan 5 masih melanjutkan tentang kemuliaan malam lailatul qadr. Ayat ke-4 Allah mengutus para malaikat di bawah komando malikat jibril untuk turun ke bumi guna mengatur segala urusan. Selanjutnya pada ayat ke-5 bahwa malaikat yang turun ke bumi mengucapkan salam (mendoakan) setiap manusia yang beribadah pada malam lailatul qadar sampai terbit fajar

Mengenal Hukum Bacaan Ra 

Dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an harus sesuai dengan kaidah Ilmu Tajwid. Dengan menerapkan Ilmu Tajwid bacaan kita menjadi fasih. Salah satunya adalah membaca huruf Ra sesuai dengan Ilmu Tajwid. Didalam membaca huruf Ra sesuai dengan kaidah Ilmu Tajawid ada tiga (3) macam yaitu: 

Hukum Ra

Salah satu metode membaca al quran adalah sepatutnya kita mengetahui cara bagaimana membaca huruf ra dalam al quran. sehingga kita dapat membaguskan kefasihan bacaan kita dalam membaca al quran. Namun, efek apabila kita tidak dapat menganalisis bacaan tersebut kita dapat menyalahkan qiraah. Jika apabila qiraah tersebut salah otomatis maknanya salah. Sebagaimana yang sudah kita ketahui yang bahwa hukum belajar ilmu tajwid adalah fardhu kifayah. Kalau ada dalam suatu tempat ada seseorang yang menguasai ilmu ini maka bagi yang lainnya tidak menanggung dosa, kalau sampai tidak ada maka seluruh kaum muslimin menanggung dosa.

Sedangkan membaca Al Qur’an dengan tajwid adalah fardhu ‘ain artinya bagi seorang yang mukalaf baik laki-laki atau perempuan harus membaca Al Qur’an dengan tajwid, kalau tidak maka dia berdosa, hal ini berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah dan ucapan para ulama.

1. Dalil-Dalil Dari Al-Qur’an Membaca Dengan Tajwid

a. Firman Allah:

“Orang-orang yang telah kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al Baqarah: 121)

Dan mereka tidak akan membaca dengan sebenarnya kecuali harus dengan tajwid, kalau meninggalkan tajwid tersebut maka bacaan itu menjadi bacaan yang sangat jelek bahkan kadang-kadang bisa berubah arti. Ayat ini menunjukkan sanjungan Allah Azza wa Jalla bagi siapa yang membaca Al Qur’an dengan bacaan sebenarnya.

b. Firman Allah SWT:

“Dan kami membacanya dengan tartil (teratur dengan benar).” (Al Furqan: 32)

Ini adalah sifat Kalamullah, maka wajib bagi kita untuk membacanya dengan apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla.

2. Dalil-Dalil Dari Hadist Membaca Dengan Tajwid

a. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya bagaimana bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menjawab bahwa bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu dengan panjang-panjang kemudian dia membaca “Bismillahirrahman arrahiim” memanjangkan (bismillah) serta memanjangkan (ar rahmaan) dan memanjangkan ar rahiim.” (HR. Bukhari)

b. Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat agar mengambil bacaan dari sahabat yang mampu dalam bidang ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mintalah kalian bacaan Al Qur’an dari Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah para sahabat yang mulia, padahal mereka itu orang-orang yang paling fasih dalam pengucapan Al Qur’an masih disuruh belajar, lalu bagaimana dengan kita orang asing yang lisan kita jauh dari lisan Al Qur’an?

3. Ijma’ Ulama Membaca Dengan Tajwid

Seluruh qura’ telah sepakat tentang wajibnya membaca Al-Qur’an dengan tajwid.

Pembahagian Hukum Bacaan Ra

Berdasarkan tata cara dalam makhrajal huruf (tempat-tempat keluarnya huruf) dan sifat-sifat yang dimilikinya, bacaan ra dibagi menjadi tiga macam, yaitu;

1. Hukum Ra Tafkhim

a. Pengertian Tafkhim

Tafkhim (تَفْخِيْمُ) merupakan masdar dari fakhkhama (فَخَّمَ) yang berarti menebalkan. Sedang yang dimaksud dengan bacaan tafkhim adalah membunyikan huruf-huruf tertentu dengan suara atau bacaan tebal.

Pada pengertian itu dapat disimpulkan, bahwa bacaan-bacaan tafkhim itu menebalkan huruf tertentu dengan cara mengucapkan huruf tertentu dengan cara mengucapkan huruf di bibir (mulut) dengan menjorokkan ke depan (bahasa Jawa mecucu), bacaan tafkhim kadang-kadang disebut sebagai isim maf’ul mufakhkhamah (مُفَخَّمَةٌ).

b. Bacaan Tafkhim

Huruf hijaiyah yang wajib dibaca tafkhim terdapat tujuh huruf, yaitu huruf isti’la yang berkumpul pada kalimat: خُصَّ ضَغْطِ قِظْ, kesemuanya harus dibaca tebal.

Ra' Tafkhim adalah cara membaca huruf ra dengan tafkhim (tebal).
Ra harus di baca tafkhim atau tebal karena beberapa sebab berikut ini:

Ra’ yang berbaris fathah atau dhommah.

Contohnya: رَسُوْلٌ * رُفاَتاً

Ra’ yang bertanda sukun dan huruf sebelumnya berbaris fathah atau dhommah.

Contohnya: أرْتَدُّوْ * يُرْضِعْنَ

Ra’ di hujung kalimah dibaca sebagai sukun kerana waqaf yang mendatang; juga diselangi huruf mad wau ( و ) atau alif ( ا ) yang bertanda sukun dan sebelumnya ada huruf yang berbaris fathah atau dhommah.

Contohnya: ألصُّدُوْرِ * ألأبْرَارِ

Ra’ di hujung kalimah dibaca sebagai sukun kerana waqaf yang mendatang; sebelumnya terdapat huruf mati selain huruf ( ى ) dan sebelumnya lagi terdapat huruf yang berbaris fathah atau dhommah.

Contohnya:بِألصَّبْرِ * خُسْرٍ

Ra' yang bertanda sukun selepas huruf hamzah wasal yang berbaris kasrah maupun dhomah.

Contohnya: اُرْجِعِ * وَاُرْعَوْا

Ra' yang bertanda sukun selepas huruf yang berbaris kasrah dan selepasnya terdapat huruf isti'la'. 

Contohnya: قِرْطَاسٍ * فِرْقَََةٍ

2. Hukum Ra Tarqiq

a. Tarqiq (تَرْقِيْقٌ) merupakan bentuk masdar dari raqqaqa (رَقَّقَ) yang berarti menipiskan. Sedang yang dimaksud dengan bacaan tarqiq adalah membunyikan huruf-huruf tertentu dengan suara atau bacaan tipis.

b. Pada pengertian itu tampak, bahwa tarqiq menghendaki adanya bacaan yang tipis dengan cara mengucapkan hurur di bibir (mulut) agak mundur sedikit dan tmpak agak meringis. Bacaan tarqiq kadang-kadang disebut sebagai isim maf’ulnya, yakni muraqqaqah (مُرَقَّقَةٌ).

Ra' Tarqiq adalah cara membaca huruf ra dengan Tarqiq (tipis).
Ra harus di baca Tarqiq atau tipis karena beberapa sebab berikut ini:

Ra’ yang berbaris kasrah.

Contohnya: أبْصَرِهِمْ

Ra' yang bertanda sukun selepas huruf yang berbaris kasrah dan bertemu dengan huruf yang bukan huruf isti'la'.

Contohnya: فِرْعَوْنَ

Ra’ di hujung kalimat yang disukunkan (waqaf yang mendatang) dan sebelumnya terdapat huruf sukun yang bukan huruf isti'la' dan sebelum huruf bertanda sukun itu, terdapat huruf yang berbaris kasrah.

Contohnya: حِجْرٍ

Ra’ di hujung kalimah yang disukunkan (waqaf yang mendatang) dan sebelumnya terdapat huruf ي yang bertanda sukun dan sebelum huruf ي bertanda sukun ini, terdapat huruf yang berbaris fatha atau kasrah.

Contohnya: نَصِيْرٍ

Ra’ bertanda sukun di hujung kalimah kerana huruf sebelumnya bertanda kasrah dan terdapat huruf isti'la' di kalimah/kata yang kedua.

Contohnya: أنْ أنْذِرْقَوْمَكَ

3. Hukum Ra Jawajul Wajhain

Ra' Jawajul Wajhain adalah cara membaca huruf ra dengan dua wajah, maksudnya boleh di tebalkan atau di tipiskan. 

Ra boleh di tebalkan atau di tipiskan karena beberapa sebab berikut ini:

Ra' sukun yang huruf sebelumnya berbaris kasrah dan bertemu dengan huruf isti'la' yang berbaris kasrah juga. l
ebih utama dibaca tipis.

Contohnya: فِرْقٍ

Ra' yang disukunkan di hujung kalimah (waqaf yang mendatang), sebelumnya terdapat huruf isti'la' yang bertanda sukun dan sebelum huruf isti'la' ini, ada huruf yang berbaris kasrah.
Lebih utama dibaca tebal jika ra' berbaris fatha.
Lebih utama dibaca tipis jika ra' berbaris kasrah.

Contohnya:عَلَيْهِ قِطْرًا * عَيْنَ الْقِطْرِ

Hadits Keutamaan memberi

Tangan Di Atas Lebih Baik Dari Tangan Di Bawah 
TANGAN DI ATAS LEBIH BAIK DARI TANGAN DI BAWAH 
Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas

 حفظه الله عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ 

Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.” TAKHRIJ HADITS. 
        Hadits ini muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 1427) dan Muslim no.1053 (124) KOSA KATA HADITS. اَلْيَدُ الْعُلْيَا : Tangan yang di atas (Orang yang memberi) اَلْيَدُ السُّفْلَى : Tangan yang di bawah (orang yang menerima) بِمَنْ تَعُوْلُ : Orang yang menjadi tanggunganmu, yaitu isteri, orang tua, anak-anak yang masih menjadi tanggungan orang tua dan pelayan (pembantu). خَيْرٌ : Lebih baik. ظَهْرُ غِنًى : Tidak membutuhkannya, lebih dari keperluan. يَسْتَعْفِفْ : Menjaga kehormatan diri atau menahan diri dari meminta-minta. يَسْتَغْنِي : Merasa cukup (dengan karunia Allâh). SYARAH HADITS. 
        Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah Yaitu orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima, karena pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah yang lebih tinggi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
 Al-Yadus Suflâ (tangan yang dibawah) memiliki beberapa pengertian: 
1. Makna Pertama, artinya orang yang menerima, jadi maksudnya adalah orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang diberi tidak boleh menerima pemberian orang lain. Bila seseorang memberikan hadiah kepadanya, maka dia boleh menerimanya, seperti yang terjadi pada Shahabat yang mulia ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu menolak pemberian dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ Ambillah pemberian ini! Harta yang datang kepadamu, sementara engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah. Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya).”[1] Demikian juga jika ada yang memberikan sedekah dan infak kepada orang miskin dan orang itu berhak menerima, maka boleh ia menerimanya.
2.Makna kedua, yaitu orang yang minta-minta, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
 : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas yaitu orang yang memberi infak dan tangan di bawah yaitu orang yang minta-minta.[2] Makna yang kedua ini terlarang dalam syari’at bila seseorang tidak sangat membutuhkan, karena meminta-minta dalam syari’at Islam tidak boleh, kecuali sangat terpaksa. Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang untuk meminta-minta, di antaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّىٰ يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.[3] Hadits ini merupakan ancaman keras yang menunjukkan bahwa meminta-minta kepada manusia tanpa ada kebutuhan itu hukumnya haram. 
Oleh karena itu, para Ulama mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang meminta sesuatu kepada manusia kecuali ketika darurat. Ancaman dalam hadits di atas diperuntukkan bagi orang yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ Barangsiapa meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.’”[4] Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا ، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا ، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.[5] Adapun meminta-minta karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh karena terpaksa. Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” [Adh-Dhuhâ/93:10] Dan juga seperti dalam hadits Qâbishah yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1044) dan lainnya. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu Yaitu saat ingin memberikan sesuatu, hendaknya manusia memulai dan memprioritaskan orang yang menjadi tanggungannya, yakni yang wajib ia nafkahi. Menafkahi keluarga lebih utama daripada bersedekah kepada orang miskin, karena menafkahi keluarga merupakan sedekah, menguatkan hubungan kekeluargaan, dan menjaga kesucian diri, maka itulah yang lebih utama. Mulailah dari dirimu! Lalu orang yang menjadi tanggunganmu. Berinfak untuk dirimu lebih utama daripada berinfak untuk selainnya, sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ Mulailah dari dirimu, bersedekahlah untuknya, jika ada sisa, maka untuk keluargamu[6] Dalam hadits di awal rubrik ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk memulai pemberian nafkah dari keluarga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ. Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), satu dinar yang engkau infakkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya ialah satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu[7] Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya Artinya sedekah terbaik yang diberikan kepada sanak keluarga, fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan adalah sedekah yang berasal dari kelebihan harta setelah keperluan terpenuhi. Artinya, setelah dia memenuhi keperluan keluarganya secara wajar, baru kemudian kelebihannya disedekahkan kepada fakir miskin. Hadits yang serupa dengan pembahasan ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : مَا يَكُنْ عِنْدِيْ مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ،وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ Baca Juga  Kesalahan-Kesalahan Yang Dimaafkan Apa saja kebaikan yang aku punya, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya. Barangsiapa melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada anugerah kesabaran.[8] Hadits ini mengandung empat kalimat yang bermanfaat dan menyeluruh yaitu: Kalimat Pertama : وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya  Kalimat Kedua : ومَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya Kedua kalimat di atas saling berkaitan, karena kesempurnaan penghambaan diri seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla terletak dalam keikhlasannya kepada Allâh, takut, harap, dan bergantung kepada-Nya, tidak kepada makhluk. Oleh karena itu, wajib baginya untuk berusaha merealisasikan kesempurnaan tersebut, mengerjakan semua sebab dan perantara yang bisa mengantarkannya kepada kesempurnaan tersebut. Sehingga dia menjadi hamba Allâh yang sejati, bebas dari perbudakan seluruh makhluk. Dan itu didapat dengan mencurahkan jiwanya pada dua perkara; Meninggalkan ketergantungan pada seluruh makhluk dengan menjauhkan diri dari apa-apa yang ada pada mereka. Tidak meminta kepada mereka dengan perkataan maupun keadaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar Radhiyallahu anhu : خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ. Ambillah pemberian ini. Harta yang datang kepadamu, sedang engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah! Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya)[9] Maka menghilangkan ketamakan dari dalam hati serta menjauhkan lisan dari meminta-minta demi menjaga diri dan menjauhkan diri dari pemberian makhluk serta menjauhkan diri ketergantungan hati terhadap mereka, merupakan faktor yang kuat untuk memperoleh ‘iffah (kesucian diri dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal atau tidak baik). Merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , percaya dengan kecukupan-Nya, karena barangsiapa bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya: وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ  Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya...” [Ath-Thalâq/65:3] Potongan kalimat yang pertama yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “ Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allâh akan menjaganya,” merupakan wasîlah (cara) untuk sampai kepada hal ini. Yaitu barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari apa-apa yang ada pada manusia dan apa-apa yang didapat dari mereka, maka itu mendorong dirinya untuk semakin bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , berharap, semakin menguatkan keinginannya dalam (meraih) kebaikan dari Allâh Azza wa Jalla , dan berbaik sangka kepada Allâh serta percaya kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla bersama hamba-Nya yang berprasangka baik kepada-Nya; jika hamba tersebut berprasangka baik, maka itu yang dia dapat. Dan jika ia berprasangka buruk, maka itu yang dia dapat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku[10] Masing-masing dari dua hal tersebut saling membangun dan saling menguatkan. Semakin kuat ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka akan semakin lemah ketergantungannya kepada seluruh makhluk. Begitu juga sebaliknya, semakin kuat ketergantungan manusia kepada makhluk, maka semakin lemah ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Di antara do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu: اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik), dan aku memohon kepada-Mu kecukupan (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal/tidak baik), dan aku memohon kepada-Mu kecukupan.[11] Doa yang singkat ini telah mencakup seluruh kebaikan, yaitu: Petunjuk : yaitu memohon hidayah ilmu yang bermanfaat. Ketakwaan : Takwa kepada Allâh yaitu dengan mengerjakan amal-amal shalih dan meninggalkan segala hal yang haram. Inilah kebaikan agama. Yang menyempurnakan itu semua adalah keshalihan hati dan ketenangannya yang dapat diraih dengan menjauhkan diri dari makhluk dan merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla. Barangsiapa merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla, maka dia adalah orang kaya yang sesungguhnya, walaupun penghasilannya sedikit. Karena kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yaitu kekayaan hati. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ  (Hakikat) kaya bukanlah dengan banyaknya harta benda, namun kaya (yang sebenarnya) adalah kaya hati (merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang dikaruniakan)[12] Dengan iffah (kesucian diri) dan merasa berkecukupan maka akan terwujud kehidupan yang baik bagi seorang hamba, nikmat dunia, dan qanâ’ah (merasa puas) atas apa yang Allâh berikan padanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[13] Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنِعَ 
        Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk untuk memeluk Islam, dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas (qana’ah)[14] Orang yang merasa cukup dan qanâ’ah (merasa puas dengan apa yang Allâh karuniakan) –meskipun dia hanya mempunyai bekal dan makanan hari itu saja– maka seolah-olah ia memiliki dunia dan seisinya. Kalimat ketiga: وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikan dia sabar Kemudian disebutkan dalam kalimat keempat  bahwa jika Allâh Azza wa Jalla memberikan kesabaran kepada seorang hamba, maka pemberian itu merupakan anugerah yang paling utama dan pertolongan yang paling luas serta paling agung. Allâh Azza wa Jalla berfirman : وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ Dan mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan sabar dan shalat…” [Al-Baqarah/2:45], yaitu dalam setiap perkara kalian. Allâh Azza wa Jalla juga berfirman : وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allâh dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.”[An-Nahl/16:127] Sabar, seperti halnya akhlak-akhlak terpuji lainnya, membutuhkan kesungguhan jiwa dan latihan. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar,” yaitu orang yang mencurahkan jiwanya untuk bersabar, “Maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikannya sabar,” yaitu Allâh akan menolongnya agar ia bisa bersabar. Sabar itu merupakan pemberian yang paling agung, karena ia berkaitan dengan semua urusan seorang hamba dan sebagai penyempurnanya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala keadaan selama hidupnya. Baca Juga  Wajib Berdakwah Mengajak Manusia Kepada Kebaikan Dan Haram Berdakwah Mengajak Kepada Kesesatan Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala hal, di antaranya: Dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh sampai dia bisa mengerjakan dan menunaikannya Sabar dalam menjauhkan maksiat kepada Allâh sampai dia bisa meninggalkannya karena Allâh Azza wa Jalla Sabar atas takdir-takdir Allâh yang menyakitkan sampai dia tidak marah karenanya, Bahkan seorang hamba membutuhkan sabar atas nikmat-nikmat Allâh dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa, sehingga dia tidak membiarkan jiwanya tenggelam dalam kesenangan dan kegembiraan yang tercela, tetapi dia terus menyibukkannya dengan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . \
Kesimpulannya, seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaannya. Dengan kesabaran, seorang hamba akan mendapat kemenangan. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tentang penghuni surga dalam firman-Nya : وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ “…Sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;(sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” [Ar-Ra’du/13: 23-24] Begitu juga firman-Nya : أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka… [Al-Furqân/25:75] Mereka mendapatkan surga berserta kenikmatannya dan mendapatkan tempat-tempat yang tinggi karena kesabaran. Seorang hamba harus meminta kepada Allâh Azza wa Jalla agar diselamatkan dari cobaan yang tidak diketahui akibatnya, namun jika cobaan itu datang kepadanya, maka kewajibannya adalah bersabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar