Minggu, 14 Februari 2021

Ringkasan Materi Fikih Kelas 6 Semester 2

 

Pinjam Meminjam

A.      Pengertian Pinjam

                Meminjam Pinjam meminjam dalam istilah fikih disebut ‘ariyah. ‘Ariyah berasal dari bahasa Arab yang artinya pinjaman. Pinjam-meminjam menurut istilah ‘Syara” ialah Aqad berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya secara utuh, tepat pada waktunya.

Semua benda yang bisa diambil manfaatnya dapat dipinjam atau dipinjamkan. Peminjam harus menjaga barang tersebut agar tidak rusak, atau hilang. Peminjam hanya boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjam. Sebagai bentuk tolong menolong, pinjam meminjam merupakan bentuk pertolongan kepada orang yang sangat membutuhkan suatu barang

Pinjam meminjam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjalin tali silaturrahim, menumbuhkan rasa saling membutuhkan, saling menghormati, dan saling mengasihi. Oleh karena itu, pinjam meminjam harus dilandasi dengan semangat dan nilai-nilai ajaran Islam.

Allah Swt. memberikan tuntunan, agar pinjam meminjam dicatat dengan teliti mengenai syaratnya, waktu pengembaliannya, cicilannya, jaminannya, dan bagaimana penyelesaiannya jika terjadi permasalahan. Hal ini semata-mata untuk memberikan kenyamanan dan keamanan kepada pemilik barang dan peminjam. Namun kenyataannya kita terkadang mengabaikan hal tersebut karena alasan sudah saling kenal dengan peminjam, masih saudara, tetangga dekat, atau nilai barang tidak seberapa. Padahal pencatatan itu sebenarnya untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari

 

B.      Hukum Pinjam

Meminjam Pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi yang menyertainya. Hukum pinjam meminjam dalam syariat Islam dibagi menjadi 5 (lima) bagian, yaitu:

a.       Mubah, artinya boleh, ini merupakan hukum asal dari pinjam meminjam.

b.       Sunnah, artinya pinjam meminjam yang dilakukan merupakan suatu kebutuhan akan hajatnya, lantaran dirinya tidak punya, misalnya meminjam sepeda untuk mengantarkan tamu, meminjam untuk keperluan sekolah anaknya dan sebagainya.

c.       Wajib, artinya pinjam meminjam yang merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dan kalau tidak meminjam akan menemukan suatu kerugian misalnya: ada seseorang yang tidak punya kain lantaran hilang atau kecurian semuanya, maka apabila tidak pinjam kain pada orang lain akan telanjang, hal ini wajib pinjam dan yang punya kain juga wajib meminjami.

d.      Makruh, artinya jika pinjam meminjam berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang kafir

e.      Haram, artinya pinjam meminjam yang dipergunakan untuk kemaksiatan atau untuk berbuat jahat, misalnya seseorang meminjam pisau untuk membunuh, hal ini dilarang oleh agama. Contoh lain, pinjam tempat (rumah) untuk berbuat maksiat.

C.      Rukun dan Syarat Pinjam

Meminjam Rukun meminjam berarti bagian pokok dari pinjam meminjam itu sendiri. Apabila ada bagian dari rukun itu tidak ada, maka dianggap batal. Demikian juga syarat berarti hal-hal yang harus dipenuhi. Rukun pinjam meminjam ada empat macam dengan syaratnya masing-masing sebagai berikut:

a.       Adanya Mu’iir yaitu, orang yang meminjami.

Syaratnya:

1)      Baligh

2)      Berakal

3)       Bukan pemboros

4)      Tidak dipaksa

5)       Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang meminjamkannya.

b.      Adanya Musta’iir yaitu, orang yang meminjam.

Syaratnya:

1)      Baligh

2)      Berakal

3)      Bukan pemboros

4)      Mampu berbuat kebaikan. Oleh sebab itu, orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam

5)      Mampu menjaga barang yang dipinjamnya dengan baik agar tidak rusak.

6)       Hanya mengambil manfaat dari barang dari barang yang dipinjam

c.       Adanya Musta’aar  yaitu, barang yang akan dipinjam.

 Syaratnya:

1)      Barang yang akan dipinjam benar-benar miliknya,

2)       Ada manfaatnya

3)      Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, maka yang setelah dimanfaatkan menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.

d.      Dengan perjanjian waktu untuk mengembalikan.

Ada pendapat lain bahwa waktu tidak menjadi syarat perjanjian dalam pinjam meminjam, sebab pada hakikatnya pinjam meminjam adalah tanggung jawab bersama dan saling percaya, sehingga apabila terjadi suatu kerusakan atau keadaan yang harus mengeluarkan biaya menjadi tanggung jawab peminjam. Hadis Nabi Saw Artinya: “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang-orang yang menanggung sesuatu harus membayar.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

e.      Adanya lafaz ijab dan kabul, yaitu ucapan rela dan suka atas barang yang dipinjam.

1)      Lafaz ijab dan kabul dapat dimengerti oleh kedua belah pihak

2)      Lafaz ijab dilanjutkan dengan kabul

Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap. Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar