Di luar skenario Jepang, proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi, hal-hal terkait dasar negara, UUD, bentuk negara, hingga batas wilayah negara Indonesia merdeka telah disiapkan oleh lembaga bentukan Jepang, yakni BPUPKI dan dilanjutkan oleh PPKI.
Sidang BPUPKI
Pendirian Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dilatarbelakangi oleh situasi menjelang akhir Perang Dunia II saat Jepang mengalami kekalahan perang di berbagai tempat. Jepang sangat membutuhkan bantuan rakyat jajahannya untuk menahan Sekutu.
Oleh karena itu, Jepang kemudian menerapkan strategi propaganda, mobilisasi massa, membentuk organisasi politik dan militer, hingga memberikan janji kemerdekaan. Pada Agustus 1943, Burma (Myanmar) diberikan kemerdekaan boneka oleh Jepang. Kemudian Filipina menyusul pada bulan berikutnya dengan mendapatkan kemerdekaan boneka dari Jepang.
Pada September 1944, giliran Indonesia mendapatkan janji kemerdekaan, tetapi tanpa batasan waktu pelaksanaannya. Janji tersebut baru ditindaklanjuti pada tahun berikutnya dengan membentuk badan persiapan kemerdekaan setelah Jepang semakin terdesak di kawasan Asia Tenggara.
Kedua badan bentukan Jepang tersebut menghasilkan berbagai keputusan, seperti dasar negara, Undang-Undang Dasar, bentuk negara, batas wilayah, hingga memilih presiden dan wakil presiden. Hal-hal tersebut membantu mempercepat wujud negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Di bawah Jepang
Setelah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang pada 8 Maret 1942, Jepang membagi wilayah jajahannya dalam tiga kekuasaan.
Pertama, pemerintahan militer angkatan darat Jepang (Rikugun) di bawah Tentara Ke-25 yang meliputi wilayah Sumatera dengan kedudukan di Bukittinggi. Kedua, pemerintahan militer angkatan darat Jepang di bawah Tentara Ke-16, meliputi Jawa dan Madura dengan kedudukan di Batavia. Ketiga, pemerintahan militer angkatan laut (Kaigun), yang dipegang oleh Armada Selatan Ke-2, meliputi wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat yang berkedudukan di Makassar.
Ketiga penguasa tersebut memiliki kebijakan yang berlainan sesuai dengan gambaran mereka tentang wilayah yang diduduki. Pada umumnya, Jawa lebih dianggap sebagai wilayah dengan suhu politik yang tinggi daripada kepentingan ekonominya. Sumatera dianggap penting karena sumber dayanya. Sedangkan wilayah Timur yang berada di bawah Angkatan Laut dianggap penting dari sisi ekonomi.
Dengan gambaran tersebut, kebijakan politik di ketiga wilayah itu juga berbeda. Pada tahun 1943, di Jawa, wilayah yang dianggap memiliki suhu politik paling tinggi, penguasa Jepang bergerak lebih cepat mencari dukungan bagi pemerintah Jepang.
Penguasa Jepang di Jawa mulai menjanjikan keterlibatan tokoh Indonesia dalam pemerintahan. Beberapa penasihat (sanyo) dari kalangan Indonesia dilibatkan dalam pemerintahan Jepang. Dewan Penasihat Pusat (Chuo Sangi-in) dibentuk di Jakarta dengan Soekarno sebagai ketua. Di tingkat daerah, dibentuk Dewan Daerah (Shu Sangi-kai).
Kebijakan serupa juga diikuti oleh penguasa Jepang di Sumatera pada akhir tahun 1943. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak diikuti oleh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang (Kalimantan dan wilayah Timur).
Beberapa kelompok militer dan pemuda dibentuk untuk memobilisasi kekuatan melawan Sekutu. Pada tahun 1943 dibentuk Seinendan, Keibodan, Heiho, dan Pembela Tanah Air (Peta). Pada tahun 1944, dibentuk Jawa Hokokai diikuti kemudian dengan Barisan Pelopor yang kemudian diberi pelatihan perang gerilya.
Kekalahan bertubi-tubi Jepang di Kwajalein, Kepulauan Marshall (Februari 1944); Laut Filipina (Juni 1944); Saipan, Pulau Mariana (Juli 1944) mengakibatkan krisis dalam pemerintahan Jepang. Pada 17 Juli 1944, Kabinet Tojo mengundurkan diri dan diganti oleh Jenderal Kuniaki Koiso sebagai perdana menteri.
Untuk mempertahankan pengaruh Jepang di negara-negara yang diduduki, Perdana Menteri Kioso memberikan janji kemerdekaan. Pada tanggal 7 September 1944, PM Koiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia (East Indies/ To-Indo) tetapi tidak menentukan batas waktu/tanggal kemerdekaan.
Selain itu, Tentara Jepang ke-16 di Jawa diminta untuk membakar semangat nasionalisme untuk meraih simpati dan dukungan kepada Jepang. Bahkan, bendera Indonesia diizinkan untuk dikibarkan di kantor Jawa Hokokai.
Di Sumatera, penguasa Jepang mengumumkan pembentukan Dewan Konsultasi Pusat (Sumatra Chuo Sangi-in) pada Maret 1945. Badan ini sempat mengadakan satu kali pertemuan di Bukittingi hingga akhir Perang Dunia II.
Kebijakan di kedua wilayah tersebut tidak disambut baik oleh penguasa Jepang di Kalimantan dan wilayah Timur. Satu perkecualian adalah gerakan seorang perwira Angkatan Laut yang bertugas di Jawa, Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Maeda bertugas di Jakarta sebagai perwira penghubung Angkatan Darat dan Laut. Di kalangan tokoh nasionalis Indonesia, Maeda dianggap sebagai tokoh progresif. Salah satu hal yang dilakukan adalah memberikan dukungan dalam tur Soekarno dan Mohammad Hatta ke Makkasar (April 1945), Bali, dan Banjarmasin (Juni 1945). Selain itu, ia juga membangun Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta pada bulan Oktober 1944. Maeda lantas mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Indonesia dari segala kalangan.
Strategi Jepang menumbuhkan nasionalisme untuk mendapatkan simpati malah berbuah revolusi di berbagai tempat. Pada Februari 1945, muncul pemberontakan Peta di Blitar yang menewaskan beberapa tentara Jepang. Pada bulan yang sama, tentara Burma ciptaan Jepang juga berbalik mendukung Sekutu. Jepang kemudian menyadari bahwa mereka tidak dapat mengontrol militer Indonesia yang mereka ciptakan.
Selain itu, Jepang kembali mengalami kekalahan di berbagai peperangan. Pada Maret 1945, Amerika Serikat berhasil menduduki Iwo Jima dan menjadikannya markas basis bagi pesawat bomber ke Jepang. Tentara Jepang ke-16 di Jawa bertindak semakin cepat ketika melihat kekalahan Jepang di berbagai peperangan dengan Sekutu dan muncul benih-benih revolusi di Jawa.
Pada 1 Maret 1945, Panglima Tentara (Saiko Syukikan) ke-16 Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakici Harada, mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI ini merupakan salah satu wujud janji kemerdekaan bagi Indonesia yang pernah disampaikan oleh Jenderal Kuniaki Koiso pada September 1944.
BPUPKI
Kebijakan pemerintah Jepang membentuk BPUPKI tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Jepang ingin mempertahankan sisa-sisa kekuatannya dengan memikat hati rakyat Indonesia serta melaksanakan politik di tanah jajahannya.
Selain itu, BPUPKI dibentuk dengan tujuan untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan dengan pembentukan Negara Indonesia Merdeka. Struktur BPUPKI terdiri atas dua bagian, yakni badan perundingan (persidangan) dan kantor tata usaha (sekretariat).
Badan perundingan terdiri atas seorang ketua (kaico), dua orang ketua muda (fuku kaico), dan 60 anggota (iin). Pengangkatan anggota badan perundingan diumumkan pada 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Jepang, Tenno Heika.
Yang diangkat menjadi ketua adalah KRT Radjiman Wediodiningrat. Ketua Muda Pertama dijabat oleh Ichibangase Yosio (shucokan Cirebon). Ketua Muda Kedua dijabat RP Soeroso (fuku shucokan Magelang). Sedangkan Kepala Sekretariat dijabat oleh Toyohito Masuda dan Abdoel Gafar Pringgodigdo.
KRT Radjiman Wediodiningrat
Sidang pertama BPUPKI
BPUPKI mengadakan dua kali sidang sebelum kemudian dibubarkan dan diganti PPKI. Sidang pertama diadakan pada 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon 6 Jakarta (sekarang gedung Pancasila). Sidang ini dikenal dengan rapat mencari Dasar Negara Indonesia.
Upacara pembukaan sidang tersebut dihadiri oleh Jenderal Itagaki (Panglima Tentara Wilayah Ke-7 yang bermarkas di Singapura yang membawahi Tentara Ke-25 dan Tentara Ke-16) dan Letnan Jenderal Nagano (Panglima Tentara Ke-16 yang baru).
Acara tersebut juga diisi dengan pengibaran bendera Hinomaru oleh AG. Pringgodigdo yang kemudian disusul dengan pengibaran bendera Merah Putih oleh Toyohito Masuda.
Rangkaian sidang pertama ini dimulai dengan membahas dan merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) dan persoalan mendasar tentang Negara Indonesia Merdeka.
Selama empat hari sidang, tercatat 46 pembicara, sesuai dengan pengumuman Zimukyoku BPUPKI, tetapi yang tercatat oleh harian Asia Raya Jakarta dan Sinar Baru Semarang hanya 30 orang pembicara.
Dari berbagai pembicara selama sidang pertama, terdapat tiga pembicara yang menjawab pertanyaan tentang dasar negara, yakni pidato dari Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.
Pada 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengemukakan lima “Azas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” yang terdiri dari peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhan-an, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Pada 31 Mei 1945, Soepomo mengajukan dasar-dasar untuk Indonesia merdeka adalah persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir batin, musyawarah, dan keadilan rakyat.
Pada 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan tentang dasar negara dengan nama Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Rumusan lima dasar bagi negara Indonesia merdeka menurut Soekarno adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat dan demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhan-an yang Maha Esa. Pidato Soekarno ini kemudian dikenal dengan lahirnya Pancasila.
Masa reses
Setelah masa sidang pertama, diadakan masa reses selama lebih dari satu bulan. Selama masa reses, panitia kecil membahas rancangan pembukaan (preambule) Undang-Undang Dasar pada 22 Juni 1945 yang dimulai pada pukul 10.00 di gedung Kantor Besar Jawa Hokokai, Lapangan Banteng. Pertemuan tersebut dihadiri juga oleh sejumlah anggota BPUPKI yang lain sehingga terdapat total 38 peserta rapat.
Dalam rapat tersebut, panitia kecil telah menampung sebanyak 40 usulan dari anggota BPUPKI selama masa reses yang dapat dikelompokkan menjadi 32 hal. Selanjutnya, 32 hal tersebut disarikan kembali menjadi 9 golongan. Usulan terbanyak, yakni dari 26 orang mengusulkan agar Indonesia merdeka segera dilaksanakan.
Selain mengelompokkan berbagai usulan, rapat tersebut menyepakati pembentukan panitia kecil lain yang bertugas menyusun rumusan dasar negara. Panitia penyusun dasar negara tersebut beranggotakan sembilan orang, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Soebardjo, AA Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wachid Hasjim, H Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Panitia Sembilan kemudian mengadakan pertemuan di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta hingga pukul 20.00. Pertemuan tersebut menghasilkan rumusan pembukaan UUD yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Rumusan pembukaan UUD tersebut kemudian disetujui panitia kecil.
Sidang kedua BPUPKI
Pada 10 Juli 1945 dimulai putaran sidang BPUPKI yang kedua. Sidang hari pertama ini dimulai pada pukul 10.00 dan berakhir pada pukul 18.00. Di antaranya terdapat waktu istirahat pada pukul 13.30-15.30.
Pada pembukaan sidang, Ketua Radjiman Wediodiningrat menyampaikan adanya enam anggota baru BPUPKI. Selanjutnya, dilaporkan hasil kerja panitia kecil yang telah mengadakan pertemuan selama masa reses, yakni pengelompokkan usulan serta rancangan pembukaan UUD.
Sidang hari pertama ini juga menghasilkan keputusan tentang bentuk negara republik bagi Indonesia merdeka. Keputusan tentang bentuk negara ini dihasilkan dengan cara voting—atau setem sesuai istilah Radjiman—oleh 64 anggota. Sejumlah 55 suara memilih bentuk negara republik, 6 suara memilih bentuk kerajaan, dan 2 suara memilih bentuk lain, dan 1 suara belangko.
Sidang besar hari kedua, tanggal 11 Juli 1945 dibuka pada pukul 10.50 dan berakhir pada pukul 16.40. Di antaranya terdapat waktu istirahat dari pukul 13.10 hingga pukul 14.30.
Acara hari kedua mengangkat topik mengenai wilayah negara. Dari antara 66 anggota belum ada kesepakatan tentang batas-batas Negara Indonesia.
Suroso menyimpulkan adanya tiga pendapat sidang terkait batas-batas wilayah Indonesia merdeka. Pertama, Indonesia adalah Hindia Belanda dahulu. Kedua, Hindia Belanda dahulu ditambah Borneo Utara, Papua, dan Timor semuanya. Ketiga, Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor dan kepulauan sekelilingnya.
Setelah melalui perdebatan, akhirnya sebuah komisi ditentukan oleh Wakil Ketua Suroso yang terdiri tiga orang, yaitu Otto Iskandardinata, Abikusno, dan Latuharhary. Tugasnya mengatur pemungutan suara dengan surat.
Hasilnya, ada 66 suara yang sah. Keputusan terbanyak, yakni 39 suara, memilih batas wilayah negara adalah Hindia Belanda dulu, ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.
Sidang ini juga menetapkan beberapa panitia. Panitia yang bekerja untuk merancang UUD diketuai Soekarno, panitia yang bekerja untuk merancang pembelaan tanah air diketuai oleh Abikusno Tjokrosujoso, dan panitia yang membahas hal keuangan dan ekonomi diketuai oleh Mohammad Hatta.
Pada tanggal 11 Juli 1945 juga diadakan rapat kecil panitia perancang UUD. Rapat tersebut menyetujui isi pembukaan (preambule) UUD dan membentuk panitia kecil perancang UUD yang terdiri atas Soepomo, Wongsonegoro, Subardjo, Maramis, Singgih, Salim, dan Sukiman. Soepomo diangkat menjadi ketua. Kewajiban panitia adalah merancang UUD dengan memperhatikan pendapat dari rapat besar dan kecil. Hasil kerja panitia Supomo dilaporkan dalam rapat kecil tanggal 13 Juli 1945.
Persidangan BPUPKI selanjutnya dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1945 dari pukul 15.00 hingga 16.16. Rapat tersebut membicarakan hasil Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yakni pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan undang-undang dasar, serta batang tubuh undang-undang dasar.
Dalam sidang tersebut, Soekarno menceritakan usulan dari Abikusno dalam rapat kecil menyangkut pernyataan Indonesia Merdeka. Semua anggota panitia hukum dasar sudah sepakat, kecuali Abikusno yang mengusulkan tentang perlunya alasan-alasan kemerdekaan
dikemukakan dengan tegas dan ringkas. Mengakomodasi pendapat tersebut, dalam rapat besar ini Soekarno menyampaikan kembali usulan Abikusno.
Menurut Soekarno, untuk mempercepat prosedur penyelesaian pekerjaan, jika ada anggota yang mengusulkan perubahan kata-kata, bolehlah di bawah tangan nanti berunding memperbaiki kata-kata yang tidak disetujui. Namun, khusus tentang usulan Abikusno Tjokrosujoso, Soekarno merasa perlu menyampaikan pada anggota BPUPKI, sebab perubahan itu tidak menyangkut kata-kata, tetapi konstruksi pernyataan kemerdekaan.
Sidang BPUPKI akhirnya menerima pembukaan UUD dengan suara bulat dengan sedikit perubahan kata-kata.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, dibahas rancangan UUD. Mengingat banyaknya pendapat saat membahas rancangan UUD, sidang yang dibuka pada pukul 10.20 ini baru ditutup pada pukul 23.25. Di antaranya terdapat waktu istirahat, yakni dari pukul 13.05-15.10 dan pukul 18.00-21.10. Hingga akhir sidang, tidak dihasilkan suatu keputusan dan menunggu sidang selanjutnya.
Sidang pada tanggal 16 Juli 1945 dimulai pada pukul 10.30. Sidang ini sepakat menerima rancangan UUD yang diusulkan oleh panitia perancang UUD.
PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dianggap bubar dan diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Linkai.
Berbeda dengan anggota BPUPKI, anggota PPKI, menurut Jenderal Yamamoto (Gunseikan), dipilih langsung oleh Jenderal Besar Terauci yang menjadi penguasa tertinggi di seluruh Asia Tenggara.
Anggota PPKI ini berjumlah 21 orang dari berbagai pulau, yakni 12 dari Jawa, tiga dari Sumatera, dua dari Sulawesi, satu dari Kalimantan, satu dari Sunda Kecil (Nusa Tenggara), satu dari Maluku, dan satu dari golongan China. Selain 21 orang tersebut, terdapat enam anggota tambahan atas usul Soekarno.
Soekarno ditunjuk menjadi ketua PPKI dengan wakil Mohammad Hatta, dan Ahmad Subardjo menjadi penasihat khusus.
Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia VI tahun 1993, para anggota PPKI diizinkan melakukan kegiatan menurut pendapat dan kesanggupan bangsa Indonesia sendiri, tetapi diwajibkan memperhatikan beberapa syarat berikut.
Pertama, untuk mencapai kemerdekaan, Bangsa Indonesia harus ikut dalam perang. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya dan bersama-sama dengan Pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan dalam Perang Asia Timur Raya. Kedua, Negara Indonesia itu merupakan anggota Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya sesuai dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakko-Iciu, yaitu bangsa Jepang sebagai pemimpin bangsa bangsa sedunia terdiri dari bangsa Eropa, Asia, dan Afrika.
Untuk menegaskan pembentukan badan tersebut, Jenderal Besar Terauci memanggil tiga tokoh nasional, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat, ke markas besar Terauci di Dalat, Vietnam.
Dalam pertemuan dengan ketiga tokoh tersebut pada tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Terauci menyampaikan bahwa pemerintah kemaharajaan Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Untuk melaksanakannya, telah dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pelaksanaanya dapat dilakukan segera setelah persiapan selesai. Selain itu, diputuskan juga bahwa wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah jajahan Hindia Belanda.
Setelah pulang kembali ke Indonesia, situasi berubah dengan cepat karena Jepang telah menyatakan menyerah kepada Sekutu, yang terima oleh Amerika Serikat. Berita tersebut mendorong para pemuda untuk mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan secepatnya.
Desakan tersebut tak segera disetujui oleh Soekarno-Hatta karena belum mendapatkan kepastian berita tersebut secara resmi. Selain itu, secara legal, langkah-langkah menuju Indonesia merdeka telah dipersiapkan oleh BPUPKI dan akan dilanjutkan oleh PPKI sesuai janji Jepang.
Di luar skenario Jepang, setelah mendapat desakan dari golongan pemuda, akhirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sidang PPKI
PPKI mulai bersidang pada tanggal 18 Agustus 1945 di bekas gedung Volksraad, Pejambon, Jakarta Pusat. Rapat direncanakan dimulai pukul 09.30, tetapi baru dibuka pukul 11.30 dan ditutup pada pukul 16.12. Di antaranya terdapat waktu istirahat pada pukul 13.50-15.15 WIB.
Dalam sidang hari pertama itu, PPKI akhirnya mengesahkan pembukaan (gabungan pernyataan Indonesia Merdeka dan pembukaan), batang tubuh, serta aturan peralihan Undang-Undang Dasar. Dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, masuk dalam pembukaan UUD yang disahkan. Selain itu, ditetapkan presiden dan wakil presiden, yakni Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Diusulkan pula pembentukan Komite Nasional untuk membantu presiden
Sebelum sidang ditutup pada hari itu, Soekarno membentuk panitia kecil yang beranggotakan Otto Iskandardinata, Subardjo, Sajuti, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusuma, Amir, Ramidhan, Ratulangi, dan Pudja. Sembilan orang tersebut mengadakan rapat setelah sidang ditutup.
Sidang PPKI selanjutnya dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1945 pada pukul 10.00 hingga pukul 14.55. Di antaranya terdapat dua kali waktu istirahat, yakni pada pukul 11.15-11.43 dan pukul 12.44-14.23.
Di awal rapat, dibentuk panitia kecil yang beranggotakan Subardjo, Sutardjo, dan Kasman, untuk membahas rancangan departemen. Panitia kecil yang diketuai Subardjo tersebut lantas pergi ke luar untuk mengadakan rapat sendiri.
Sidang dilanjutkan dengan membahas hasil kerja panitia kecil yang diketuai Otto Iskandardinata. Menanggapi hasil kerja panitia kecil, sidang memutuskan pembagian wilayah atas delapan provinsi beserta calon gubernurnya serta pembentukan Komite Nasional.
Selanjutnya, diadakan pembahasan hasil kerja panitia yang diketuai Subardjo. Panitia kecil mengusulkan adanya 13 kementerian. Akan tetapi, pembicaraan tentang departemen tidak dilanjutkan hingga menghasilkan suatu keputusan karena ada pokok bahasan lain, yakni tentang tentara kebangsaan hasil kerja panitia kecil pimpinan Otto Iskandardinata.
Disetujui pembubaran Heiho, Peta di Jawa dan Bali, serta pembubaran Laskar Rakyat di Sumatera. Selain itu, disetujui segera dibentuk Tentara Kebangsaan Indonesia oleh Presiden. Selanjutnya, Soekarno menunjuk Abdul Kadir, Kasman, dan Otto Iskandardinata untuk menyiapkan pembahasan tentang tentara kebangsaan dan kepolisian. Abdul Kadir menjadi ketua panitia kecil tersebut.
Pada malam hari, tanggal 19 Agustus 1945, rapat PPKI dilanjutkan di Jalan Gambir Selatan Nomor 10 untuk membicarakan pembentukan Komite Nasional. Disepakati bahwa anggota Komite Nasional berjumlah 60 orang dan rapat pertama akan dilaksanakan pada 29 Agustus 1945 di Gedung Komidi, Jalan Pos, Pasar Baru, Jakarta.
Rapat PPKI dilanjutkan kembali pada 22 Agutus 1945 dengan tiga keputusan, yakni pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional, dan Badan Keamanan Nasional. Komite Nasional di pusat dan daerah akan dipimpin oleh seorang ketua dan dan beberapa anggota.
Pada rapat pertama Komite Nasional pada 29 Agustus, PPKI dibubarkan. Selanjutnya, Komite Nasional yang disebut Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) bertugas untuk membantu presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar